=))

=))

Minggu, 13 November 2016

GENDER ALAT MUSIK GAMELAN (Bahasa Jawa)



Ø


  Pangertene :

Gendèr iku salah siji piranti gamelan Jawa. Gendèr ing gamelan sléndro nduwèni 11-12 wilah sing tipis lan digawé saka logam, manawa ana ing gamelan pélog nduwèni 12-13 wilah, nanging ana uga gendèr sing mung nduwèni 7 wilah. Wilah-wilah iku ditata ana ing tali kang dipasang ing kayu kang ana ing kiwa tengené. Ana ing sangisoré wilah-wilah mau dipasang bumbung, kang gunané kanggo kothak swara. Bumbung-bumbung iku dikethok kanthi ukuran manéka rupa. Kanggo nadha sing paling ngisor, bumbungé utawa pringé dikethok sing paling ngisor rosé. Kanggo nadha sing luwih dhuwur dikethokaké pring utawa bumbung sing luwih dhuwur. Piranti sing kanggo nabuh utawa tabuh gendèr biasané luwih cendhèk ketimbang gambang sing digawé saka kayu. Instrumèn gendèr ditabuh nganggo tabuh sing wujudé bundher (dilapisi nganggo kain) kanthi cekelan sing cendhak.

Ø  Cara Ngunakake :
Carané nyekel gendèr ya iku antarané driji tuding karo driji tengah. Driji-driji saka tangan tengen utawa tangan kiwa dienggo mithet utawa ngemèk wilah iku, supaya swarané mandheg.

Ø  Fungsi/Gunane :
Ana ing pakeliran wayang, gendèr digunakaké kanggo ngiringi carita, dialog utawa gunem antarané tokoh utawa paraga wayang. Gendèr ya iku salah siji ricikan gamelan sing fungsiné kanggo instrumén mélodi. Anané gendèr ing péntas gamelan kalebu wigati.Ing pagelaran wayang kulit ricikan gamelan gendèr nduwèni fungsi kanggo nguripaké swasana, nuntun dhalang. Ing pagelaran wayang, panabuh gendèr nduwèni peran kang utama, kudu nabuh instrumèn sing ora tau mandheg sawengi muput.
Jinisé gendèr
Jinise gendèr kapérang dadi telu, ya iku:
1.      gendèr penembung ya iku gendèr sing paling gedhé,
2.      gendèr barung, nduwèni wilah logam utawa métal sing ukurané sedhengan lan titi nadhané saoktaf luwih cilik ketimbang gendèr penerus.
3.      gendèr penerus, nduwèni wilah sing paling cilik lan titi nadhané saoktaf luwih dhuwur ketimbang gendèr barung.\
Rumus nabuh gendèr
Rumusé nabuh gendèr utawa kunciné ana 12 jinis tabuhan, ya iku:
 Tabuhan gendèr gembyang mbukak
  1. Tabuhan gendèr gembyang nutup
  2. Tabuhan gendèr gembyang minggah
  3. Tabuhan gendèr gembyang mandha
  4. Tabuhan gendèr kempyung mbukak
  5. Tabuhan gendèr kempyung nutup
  6. Tabuhan gendèr kempyung minggah
  7. Tabuhan gendèr kempyung mandhap
  8. Tabuhan gendèr gantungan gembyang
  9. Tabuhan gendèr gantungan kempyung
  10. Tabuhan gendèr mipil
  11. Tabuhan gendèr imbal (kanggo lancaran, srepeg, palaran)
Saliyané iku ana rumus liya kang khusus digunakaké kanggo ngiringi suluk (pedhalangan) wayang, ya iku:
  1. Tabuhan gendèr pathetan
  2. Tabuhan gendèr ada-ada
  3. Tabuhan gendèr grambyangan

Jumat, 30 September 2016

PEMBERONTAKAN DARUL ISLAM / TENTARA ISLAM (DI/TII)



PEMBERONTAKAN DARUL ISLAM / TENTARA ISLAM
(DI/TII)

1.  Berdirinya DI/TII

Bendera DI/TII
Negara Islam Indonesia (disingkat NII; juga dikenal dengan nama Darul Islam atau DI) yang artinya adalah "Rumah Islam" adalah gerakan politik yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (ditulis sebagai 12 Syawal 1368 dalam kalender Hijriyah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Diproklamirkan saat Negara Pasundan buatan belanda mengangkat Raden Aria Adipati Wiranatakoesoema sebagai presiden.
Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang saat itu baru saja diproklamasikan kemerdekaannya dan ada pada masa perang dengan tentara Kerajaan Belanda sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa "Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam", lebih jelas lagi dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam" dan "Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadits". Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk membuat undang-undang yang berlandaskan syari'at Islam, dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alqur'an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan "hukum kafir", sesuai dalam Qur'aan Surah 5. Al-Maidah, ayat 50.
Dalam perkembangannya, DI menyebar hingga di beberapa wilayah, terutama Jawa Barat (berikut dengan daerah yang berbatasan di Jawa Tengah), Sulawesi Selatan, Aceh dan Kalimantan. Setelah Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dieksekusi pada 1962, gerakan ini menjadi terpecah, namun tetap eksis secara diam-diam meskipun dianggap sebagai organisasi ilegal oleh pemerintah Indonesia. Persebaran DI/TII dibeberapa wilayah Indonesia yaitu :
a. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat ( Darul Islam/Tentara Islam Indonesia )
Pada tanggal 7 Agustus 1949 di suatu desa di Kabupaten Tasikmalaya ( Jawa Barat ). Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia. Gerakannya di namakan Darul Islam (DI) sedang tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia ( TII ). Gerakan ini dibentuk pada saat Jawa Barat di tinggal oleh Pasukan Siliwangi yang berhijrah ke Yogyakarta dan Jawa Tengah dalam Rangka melaksanakan ketentuan dalam Perundingan Renville. Ketika pasukan Siliwangi berhijrah, gerombolan DI/TII ini dapat leluasa melakukan gerakannya dengan membakar Rumah – Rumah Rakyat, Membongkar Rel Kereta Api, menyiksa dan merampok harta benda penduduk. Akan tetapi setelah pasukan Siliwangi mengadakan Long March kembali ke Jawa Barat, gerombolan DI/TII ini harus berhadapan dengan pasukan Siliwangi.Usaha Untuk menumpas pemberontakan DI/TII ini memerlukan waktu yang lama disebabkan oleh beberapa faktor, yakni :
Medannya berupa daerah pegunungan – pegunungan sehingga sangat mendukung pasukan DI/TII untuk bergerilya,
Pasukan Kartosuwirjo dapat bergerak dengan leluasa di Kalangan Rakyat,
Pasukan DI/TII mendapat bantuan dari beberapa orang Belanda, antara lain pemilik – pemilik perkebunan dan para pendukung negara Pasundan, Suasana Politik yang tidak stabil dan sikap beberapa kalangan partai politik telah mempersulit usaha – usaha pemulihan keamanan. Selanjutnya dalam menghadapi aksi DI/TII pemerintah mengerahkan pasukan TNI untuk menumpas gerombolanini. Pada tahun 1960 pasukan Siliwangi bersama rakyat melakukan operasi “ Pagar Betis “ dan operasi “ Bratayudha “ Pada tanggal 4 Juni 1962 Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo beserta para pengawalnya dapat ditangkap oleh pasukan Siliwangi dalam operasi “ Bratayudha “ di Gunung Geber, daerah Majalaya, Jawa Barat. Kemudian Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo oleh Mahkamah Angkatan Darat dijatuhi hukuman mati sehingga pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dapa di padamkan.
b. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah.
Gerombolan DI/TII ini tidak hanya di Jawa Barat akan tetapi di Jawa Tengah juga muncul pemberontakan yang didalangi oleh DI/TII. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengha di bawah pimpinan Amir Fatah yang bergerak di daerah Brebes, Tegal, dan Pekalongan. Dan Moh. Mahfudh Abdul Rachman ( Kiai Sumolangu ).
Untuk menumpas pemberontakan ini pada bulan Januari 1950 pemerintah melakukan operasi kilat yang disebut “ Gerakan Banteng Negara “ ( GBN ) di bawah Letnan Kolonel Sarbini ( Selanjut – nya di ganti Letnan Kolonel M. Bachrun dan Kemudian oleh Letnan Kolonel A. Yani ). Gerakan operasi ini dengan pasukan “ Banteng Raiders “.
Sementara itu di daerah Kebumen muncul pemberontakan yang merupakan bagian dari DI/TII ,yakni dilakukan oleh “ Angkatan Umat Islam ( AUI ) “ yang dipimpin oleh Kyai Moh. Mahudz Abdurachman yang dikenal sebagai “ Romo Pusat “ atau Kyai Somalangu. Untuk menumpas pemberontakan ini memerlukan waktu kurang lebih Tiga Bulan.
Pemberontakan DI/TII juga terjadi di daerah Kudus dan Magelang yang dilakukan oleh Batalyon 426 yang bergabung dengan DI/TII pada bulan Desember 1951. Untuk menumpas pemberontakan ini Pemerintah melakukan “ Operasi Merdeka Timur “ yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Brigade Pragolo.
Pada awal tahun 1952 kekuatan Batalyon pemberontak tersebut dapat dihancurkan dan sisa – sisanya melarikan diri ke Jawa Barat.


c. Pemberontokan DI/TII di Aceh.
Gerombolan DI/TII juga melakukan pemberontakan di Aceh yang dipimpin oleh Teuku Daud Beureuh. Adapun penyebab timbulnya pemberontakan DI/TII di Aceh adalah kekecewaan Daud Beureuh karena status Aceh pada tahun 1950 diturunkan dari daerah istimewa menjadi kresidenan di bawah Provinsi Sumatera Utara. Pada tanggal 21 September 1953 Daud Beureuh yang waktu itu menjabat sebagai Gubernur Militer menyatakan bahwa Aceh merupakan bagian dari Negara Islam Indonesa di bawah Pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosuwiyo.
Dalam menghadapi pemberontakan DI/TII di Aceh ini semula pemerintah menggunakan kekuatan senjata. Selanjutnya atas prakarsa Kolonel M. Yasin, Panglima Daerah Militer 1/Iskandar Muda, Pada tanggal 17 – 21 Desember 1962 diselenggarakan “ Mustawarah Kerukunan Rakyat Aceh “ yang mendapat dukungan tokoh – tokoh masyarakat Aceh sehingga pemberontakan DI/TII di Aceh dapat dipadamkan.
d. Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan.
Di Sulawesi Selatan juga timbul pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Kahar Muzakar. Pada tanggal 30 April 1950 Kahar Muzakar menuntut kepada pemerintah agar pasukannya yang tergabung dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan dimasukkan ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat ( APRIS ). Tuntutan ini ditolak karena harus melalui penyaringan. Pemerintah melakukan pendekatan kepada Kahar Muzakar dengan memberi pangkat Letnan Kolonel. Akan tetapi pada tanggal 17 Agustus 1951 Kahar Muzakar beserta anak buahnya melarikan diri ke hutan dan melakukan aksi dengan melakukan teror terhadap rakyat. Untuk menghadapi pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan ini pemerintah melakukan Operasi Militer. Baru pada bulan Februari 1965 Kahar Muzakar berhasil ditangkap dan ditembak mati sehingga pemberontakan DI/TII di Sulawesi dapat dipadamkan.
e. Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan.
Pada bulan oktober 1950 DI/TII juga melakukan pemberontakan di Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hajar. Para pemberontak melakukan pengacauan dengan menyerang pos – pos kesatuan TNI. Dalam menghadapi gerombolan DI/TII tersebut pemerintah pada mulanya melakukan pendekatan kepada Ibnu Hajar dengan diberi kesempatan untuk menyerah, dan akan diterima menjadi anggota TNI. Ibnu Hajar pun menyerah, akan tetapi setelah menyerah melarikan diri dan melakukan pemberontakan lagi. Selanjutnya pemerintah mengerahkan pasukan TNI sehingga pada akhir tahun 1959 Ibnu Hajar beserta seluruh anggota gerombolannya pun tertangkap.




2. Tokoh Dalam Pemberontakan DI/TII
a. Sekar Marijan Kartosuwiryo (Jawa Barat)
http://sughie.files.wordpress.com/2009/12/kartosuwiryo.jpgSekar Marijan Kartosuwiryo mendirikan Darul Islam (DI) dengan tujuan menentang penjajah Belanda di Indonesia. Akan tetapi, setelah makin kuat, Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) pada tanggal 17 Agustus 1949 dan tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII).
Upaya penumpasan dengan operasi militer yang disebut Operasi Bharatayuda. Dengan taktis Pagar Betis. Pada tanggal 4 juni 1962, Kartosuwiryo berhasil ditanggap oleh pasukan Siliwangi di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Akhirnya Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati 16 Agustus 1962.

b. Ibnu Hadjar (Kalimantan Selatan)
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/f/fa/Ihadjar.jpg
            Ibnu Hadjar alias Haderi bin Umar alias Angli adalah seorang bekas Letnan Dua TNI yang kemudian memberontak dan menyatakan gerakannya sebagai bagian DI/TII Kartosuwiryo. Dengan pasukan yang dinamakannya Kesatuan Rakyat Yang Tertindas, Ibnu Hadjar menyerang pos-pos kesatuan tentara di Kalimantan Selatan dan melakukan tindakan-tindakan pengacauan pada bulan Oktober 1950. Untuk menumpas pemberontakan Ibnu Hajar ini pemerintah menempuh upaya damai melalui berbagai musyawarah dan operasi militer. Pada saat itu pemerintah Republik Indonesia masih memberikan kesempatan kepada Ibnu Hadjar untuk menghentikan petualangannya secara baik-baik, sehingga ia menyerahkan diri dengan kekuatan pasukan beberapa peleton dan diterima kembali ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia. Tetapi setelah menerima perlengkapan Ibnu Hadjar melarikan diri lagi dan melanjutkan pemberontakannya. Pada akhir tahun 1954, Ibnu Hajar membulatkan tekadnya untuk masuk Negara Islam. Ibnu Hajar diangkat menjadi panglima TII wilayah Kalimantan. Perbuatan ini dilakukan lebih dari satu kali sehingga akhirnya Pemerintah memutuskan untuk mengambil tindakan tegas menggempur gerombolan Ibnu Hadjar. Pada akhir tahun 1959 pasukan gerombolan Ibnu Hadjar dapat dimusnahkan dan lbnu Hadjar sendiri dapat ditangkap. Gerakan perlawanan baru berakhir pada bulan Juli 1963. Ibnu Hajar dan anak buahnya menyerahkan diri secara resmi dan pada bulan Maret 1965 Pengadilan Militer menjatuhkan hukuman mati kepada Ibnu Hajar.




c. Daud Beureueh (Jawa Tengah)
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/7/7b/Teuku_Daud_Beureueh.jpg
Teungku Muhammad Daud Beureu'eh (lahir di Beureu'eh, kabupaten Pidie, Aceh, 17 September 1899 – meninggal di Aceh, 10 Juni 1987 pada umur 87 tahun) atau yang nama lengkapnya adalah Teungku Muhammad Daud Beureu'eh adalah mantan Gubernur Aceh, pendiri NII di Aceh dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ketika PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) didirikan untuk menentang pendudukan Belanda, Daud Beureu'eh terpilih sebagai ketuanya. Pada masa perang revolusi, Daud Beureu'eh menjabat sebagai Gubernur Militer Aceh. Sejak 21 September 1953 sampai dengan 9 Mei 1962, ia melakukan pemberontakan kepada pemerintah dengan mendirikan NII akibat ketidakpuasannya atas pemerintahan Soekarno. Namun akhirnya ia kembali ke pangkuan Republik Indonesia setelah dibujuk kembali oleh Mohammad Natsir.

d. Kahar Muzakkar (Sulawesi Selatan)
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/4/40/Akmuzakkar.jpg
Abdul Kahar Muzakkar (ada pula yang menuliskannya dengan nama Abdul Qahhar Mudzakkar; lahir di Lanipa, Kabupaten Luwu, 24 Maret 1921 – meninggal 3 Februari 1965 pada umur 43 tahun; nama kecilnya Ladomeng) adalah seorang figur karismatik dan legendaris dari tanah Luwu, yang merupakan pendiri Tentara Islam Indonesia di Sulawesi. Ia adalah seorang prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang terakhir berpangkat Letnan Kolonel atau Overste pada masa itu. Ia tidak menyetujui kebijaksanaan pemerintahan presiden Soekarno pada masanya, sehingga balik menentang pemerintah pusat dengan mengangkat senjata. Ia dinyatakan pemerintah pusat sebagai pembangkan dan pemberontak. Pada awal tahun 1950-an ia memimpin para bekas gerilyawan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara mendirikan TII (Tentara Islam Indonesia) kemudian bergabung dengan Darul Islam (DI), hingga di kemudian hari dikenal dengan nama DI/TII di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Pada tanggal 3 Februari 1960, melalui Operasi Tumpas, ia dinyatakan tertembak mati dalam pertempuran antara pasukan TNI dari satuan Siliwangi 330 dan anggota pengawal Kahar Muzakkar di Lasolo. Namun tidak pernah diperlihatkan pusaranya, mengakibatkan para bekas pengikutnya mempertanyakan kebenaran berita kejadiannya. Menurut kisah, jenazahnya dikuburkan di Kilometer 1 jalan raya Kendari,sulawesi tengara. Tapi sampai saat ini banyak yang tidak percaya atas kepergiannya karena belum ada bukti nyata tentang keberadaannya di sana.

e. Amir Fatah (Jawa Tengah)
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/e/e9/Amir_fatah_copy.jpg
Amir Fatah bernama lengkap Amir Fatah Wijaya Kusumah, adalah salah satu pimpinan Hizbullah Fisabilillah di daerah Besuki, Jawa Timur sebelum bergolaknya pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah. Ketika Perjanjian Renville ditanda tangani oleh pihak Belanda dan Indonesia, maka semua kekuatan Republik diharuskan hijrah ke Jawa Tengah, termasuk kesatuan Hizbullah dan Fisabilillah yang dipimpinnya. Pada tahun 1950, ia memproklamirkan wilayahnya merupakan bagian DI/TII Kartosuwiryo. Melalui operasi yang dilakukan oleh TNI untuk sementara waktu kekuatan mereka melemah tetapi akibat ada pembelot, kekuatan DI/TII Amir Fatah kembali kuat. Pada akhirnya pasukan Amir Fatah dapat ditaklukkan di perbatasan Pekalongan - Banyumas .
3. Berlangsungnya Pemberontakan DI/TII Di Berbagai Wilayah di Indonesia
Saat pasukan Siliwangi tersebut berhijrah, kelompok DI/TII ini dengan leluasa melakukan gerakannya dengan merusak dan membakar rumah penduduk, membongkar jalan kereta api, serta menyiksa dan merampas harta benda yang dimiliki oleh penduduk di daerah tersebut. Namun, setelah pasukan Siliwangi menjadwalkan untuk kembali ke Jawa Barat, kelompok DI/TII tersebut harus berhadapan dengan pasukan Siliwangi.
Gerakan NII ini bertujuan untuk menjadikan Republik Indonesia sebagai sebuah Negara yang menerapkan dasar Agama Islam sebagai dasar Negara. Dalam proklamasinya tertulis bahwa “Hukum yang berlaku di Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam” atau lebih jelasnya lagi, di dalam undang-undang tertulis bahwa “Negara Berdasarkan Islam” dan “Hukum tertinggi adalah Al Qur’an dan Hadist”. Proklamasi Negara Islam Indonesia (NII) menyatakan dengan tegas bahwa kewajiban Negara untuk membuat undang-undang berdasarkan syari’at Islam, dan menolak keras terhadap ideologi selain Al Qur’an dan Hadist, atau yang sering mereka sebut dengan hukum kafir.
Dalam perkembangannya, Negara Islam Indonesia ini menyebar sampai ke beberapa wilayah yang berada di Negara Indonesia terutama Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Setelah Sekarmadji ditangkap oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan dieksekusi pada tahun 1962, gerakan Darul Islam tersebut menjadi terpecah. Akan tetapi, meskipun dianggap sebagai gerakan ilegal oleh Negara Indonesia, pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) ini masih berjalan meskipun dengan secara diam-diam di Jawa Barat, Indonesia.  Pada Tanggal 7 Agustus 1949, di sebuah desa yang terletak di kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo mengumumkan bahwa Negara Islam Indonesia telah berdiri di Negara Indonesia, dengan gerakannya yang disebut dengan DI (Darul Islam) dan para tentaranya diberi julukan dengan sebutan TII (Tentara Islam Indonesia). Gerakan DI/NII ini dibentuk pada saat provinsi Jawa Barat ditinggalkan oleh Pasukan Siliwangi yang sedang berhijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta dalam rangka melaksanakan perundingan Renville.
a.      Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat
Pada tanggal 7 Agustus 1949 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo secara resmi menyatakan bahwa organisasi Negara Islam Indonesia (NII) berdiri berlandaskan kanun azasi, dan pada tanggal 25 Januari 1949, ketika pasukan Siliwangi sedang melaksanakan hijrah dari Jawa Barat ke Jawa Tengah, saat itulah terjadi kontak senjata yang pertama kali antara pasukan TNI dengan pasukan DI/TII. Selama peperangan pasukan DI/TII ini di bantu oleh tentara Belanda sehingga peperangan antara DI/TII dan TNI menjadi sangat sengit. Hadirnya DI/TII ini mengakibatkan penderitaan penduduk Jawa Barat, karena penduduk tersebut sering menerima terror dari pasukan DI/TII. Selain mengancam para warga, para pasukan DI/TII juga merampas harta benda milik warga untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka
b.      Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah
Selain di Jawa Barat, pasukan DI/TII ini juga muncul di Jawa Tengah semenjak adanya Majelis Islam yang di pimpin oleh seseorang bernama Amir Fatah. Amir Fatah adalah seorang komandan Laskar Hizbullah yang berdiri pada tahun 1946, menggabungkan diri dengan pasukan TNI Battalion 52, dan bertempat tinggal di Berebes, Tegal. Amir ini mempunyai pengikut yang jumlahnya cukup banyak, dan cara Amir mendapatkan para pasukan tersebut, yaitu. Dengan cara menggabungkan para laskar untuk masuk ke dalam anggota TNI. Setelah Amir Fatah mendapatkan pengikut yang banyak, maka pada tangal 23 Agustus 1949 ia memproklamasikan bahwa organisasi Darul Islam (DI) berdiri di desa pesangrahan, Tegal. Dan setelah proklamasi tersebut di laksanakan, Amir Fatah pun menyatakan bahwa gerakan DI yang di pimpinnya bergabung dengan organisasi DI/TII Jawa Barat yang di pimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Di Kebumen juga terdapat sebuah organisasi bernama Angkatan Umat Islam (AUI) yang di dirikan oleh seorang kyai bernama Mohammad Mahfud Abdurrahman. Organisasi tersebut juga bermaksud untuk membentuk Negara Islam Indonesia (NII) dan bersekutu dengan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Sebenarnya, gerakan ini sudah di desak oleh pasukan TNI. Akan tetapi, pada tahun 1952, organisasi ini bangkit kembali dan menjadi lebih kuat setelah terjadinya pemberontakan Battalion 423 dan 426 di Magelang dan Kudus. Upaya untuk menumpas pemberontakan tersebut, pemerintah membentuk sebuah pasukan baru yang di beri nama Banteng Raiders dengan organisasinya yang di sebut Gerakan Banteng Negara (GBN). Pada tahun 1954 di lakukan sebuah operasi yang di sebut Operasi Guntur untuk menghancurkan kelompok DI/TII tersebut.
c.       Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan
Pada bulan Oktober 1950 terjadi sebuah pemberontakan Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRyT) yang di pimpin oleh seorang mantan letnan dua TNI bernama Ibnu Hajar. Dia bersama kelompok KRyT menyatakan bahwa dirinya adalah bagian dari organisasi DI/TII yang berada di Jawa Barat. Sasaran utama yang di serang oleh kelompok ini adalah pos-pos TNI yang berada di wilayah tersebut. Setelah pemerintah memberi kesempatan untuk menghentikan pemberontakan secara baik-baik, akhirnya seorang mantan letnan Ibnu Hajar menyerahkan diri. Akan tetapi, penyerahan dirinya tersebut hanyalah sebuah topeng untuk merampas peralatan TNI, dan setelah peralatan tersebut di rampas olehnya, maka Ibnu Hajar pun melarikan diri dan kembali bersekutu dengan kelompok DI/TII. Setelah itu, akhirnya pemerintahan RI mengadakan Gerakan Operasi Militer (GOM) yang di kirim ke Kalimantan selatan untuk menumpas pemberontakan yang terjadi di Kalimantan Selatan tersebut, dan pada tahun 1959, Ibnu Hajar berhasil di ringkus dan di jatuhi hukuman mati pada tanggal 22 Maret 1965.
d.      Pemberontakan DI/TII di Aceh
Sesaat setelah Kemerdekaan Republik Indonesia di proklamasikan, di Aceh (Serambi Mekah) terjadi sebuah konflik antara kelompok alim ulama yang tergabung dalam sebuah organisasi bernama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang di pimpin oleh Tengku Daud Beureuh dengan kepala adat (Uleebalang). Konflik tersebut mengakibatkan perang saudara antara kedua kelompok tersebut yang berlangsung sejak Desember 1945 sampai Februari 1946. Untuk menanggulangi masalah tersebut, pemerintah RI memberikan status Daerah Istimewa tingkat provinsi kepada Aceh, dan mengangkat Tengku Daud Beureuh sebagai pemimpin/gubernur.
Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI) yang terbentuk pada bulan Agustus 1950. Pemerintahan Republik Indonesia mengadakan sebuah sistem penyederhanaan administrasi pemerintahaan yang mengakibatkan beberapa daerah di Indonesia mengalami penurunan status. Salah satu dari semua daerah yang statusnya turun yaitu Aceh, yang tadinya menjabat sebagai Daerah Istimewa, setelah operasi penyederhanaan tersebut di mulai, status Aceh pun berubah menjadi daerah keresidenan yang di kuasai oleh provinsi Sumatera Utara. Kejadiaan ini sangat mengecewakan seorang Daud Beureuh, dan akhirnya Daud Beureuh membuat sebuah keputusan yang bulat untuk bergabung dengan organisasi Negara Islam Indonesia (NII) yang di pimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 20 Spetember 1953. Setelah Daud Beureuh bergabung dengan NII, mereka melakukan sebuah operasi untuk menguasai kota-kota yang berada di Aceh, selain itu mereka juga melakukan propaganda untuk memperkeruh citra pemerintahan Republik Indonesia.
Pemberontakan yang di lakukan Daud Beureuh bersama angota NII yang di pimpin oleh Sekarmadji akhirnya di atasi oleh pemerintah dengan cara menggunakan kekuatan senjata dan operasi militer dari TNI. Setelah pemerintahan RI melakukan operasi tersebut, maka kelompok DI/TII tersebut mulai terkikis dari kota-kota yang di tempatinya. Tentara Nasional Indonesia-pun memberikan pencerahan kepada penduduk setempat untuk menghindari kesalah pahaman dan mengembalikan kepercayaan kepada pemerintahan Republik Indoneisa. Tanggal 17 sampai 28 Desember 1962, atas nama Prakasa Panglima Kodami Iskandar Muda, kolonel M.Jasin mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh, yang musyawarah tersebut mendapat dukungan dari para tokoh masyarakat Aceh dan musyawarah yang di lakukan tersebut berhasil memulihkan keamanan di Aceh.
e.       Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan
Selain pemberontakan DI/TII di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan. Pemberontakan DI/TII ini juga terjadi di Sulawesi Selatan yang di pimpin oleh Kahar Muzakar, organisasi yang sudah di dirikan sejak tahun 1951 tersebut baru bisa di runtuhkan oleh pemerintah pada Tahun 1965. Untuk menumpas organisasi tersebut di butuhkan banyak biaya, tenaga, dan waktu karena kondisi medan yang sangat sulit. Meski demikian, para pemberontak DI/TII sangat menguasai area tersebut. Selain itu, para pemberontak memanfaatkan rasa kesukuan yang berkembang di kalangan masyarakat untuk melawan pemerintah dalam menumpas organisasi DI/TII tersebut. Setelah pemerintahan Republik Indonesia mengadakan operasi penumpasan DI/TII bersama anggota Tentara Republik Indonesia. Barulah seorang Kahar Muzakar tertangkap dan di tembak oleh pasukan TNI pada tanggal 3 Februari 1965.  Pada akhirnya TNI mampu menghalau seluruh pemberontakan yang terjadi pada saat itu. Karena seperti yang kita ketahui Indonesia terbentuk dari berbagai suku dengan beragam kebudayaannya dan UUD 45 yang melindungi beberapa kepercayaan sehingga tidak mungkin untuk menjadikan salah satu hukum agama di jadikan hukum negara.
4. Berakhirnya Pemberontakan DI/TII
Usaha untuk meruntuhkan organisasi DI/TII ini memakan waktu cukup lama di karenakan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Tempat tinggal pasukan DI/TII ini berada di daerah pegunungan yang sangat mendukung organisasi DI/TII untuk bergerilya.
2. Pasukan Sekarmadji dapat bergerak dengan leluasa di lingkungan penduduk.
3. Pasukan DI/TII mendapat bantuan dari orang Belanda yang di antaranya pemilik perkebunan, dan para pendukung Negara pasundan.
4. Suasana Politik yang tidak konsisten, serta prilaku beberapa golongan partai politik yang telah mempersulit usaha untuk pemulihan keamanan.
Selanjutnya, untuk menghadapi pasukan DI/TII, pemerintah mengerahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk meringkus kelompok ini. Pada tahun 1960 para pasukan Siliwangi bekerjasama dengan rakyat untuk melakukan operasi “Bratayudha” dan “Pagar Betis” untuk menumpas kelompok DI/TII tersebut. Pada Tanggal 4 Juni 1962 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan para pengawalnya di tangkap oleh pasukan Siliwangi dalam operasi Bratayudha yang berlangsung di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Setelah Sekarmadji ditangkap oleh pasukan TNI, Mahkamah Angkatan Darat menyatakan bahwa Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dijatuhi hukuman mati, dan dan setelah Sekarmadji meninggal, pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dapat dimusnahkan.