PEMBERONTAKAN DARUL ISLAM / TENTARA ISLAM
(DI/TII)
1.
Berdirinya DI/TII
Bendera DI/TII
Negara
Islam Indonesia (disingkat NII; juga dikenal dengan nama Darul Islam atau DI)
yang artinya adalah "Rumah Islam" adalah gerakan politik yang
diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (ditulis sebagai 12 Syawal 1368 dalam
kalender Hijriyah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah,
Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Diproklamirkan saat Negara Pasundan buatan belanda mengangkat Raden Aria
Adipati Wiranatakoesoema sebagai presiden.
Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang
saat itu baru saja diproklamasikan kemerdekaannya dan ada pada masa perang
dengan tentara Kerajaan Belanda sebagai negara teokrasi dengan agama Islam
sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa "Hukum yang berlaku dalam
Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam", lebih jelas lagi dalam
undang-undangnya dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam" dan
"Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadits". Proklamasi Negara
Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk membuat
undang-undang yang berlandaskan syari'at Islam, dan penolakan yang keras
terhadap ideologi selain Alqur'an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan
"hukum kafir", sesuai dalam Qur'aan Surah 5. Al-Maidah, ayat 50.
Dalam perkembangannya, DI menyebar hingga di beberapa wilayah, terutama Jawa
Barat (berikut dengan daerah yang berbatasan di Jawa Tengah), Sulawesi Selatan,
Aceh dan Kalimantan. Setelah Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dieksekusi pada
1962, gerakan ini menjadi terpecah, namun tetap eksis secara diam-diam meskipun
dianggap sebagai organisasi ilegal oleh pemerintah Indonesia. Persebaran DI/TII
dibeberapa wilayah Indonesia yaitu :
a. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat ( Darul Islam/Tentara
Islam Indonesia )
Pada tanggal 7 Agustus 1949 di suatu desa di Kabupaten
Tasikmalaya ( Jawa Barat ). Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo memproklamirkan
berdirinya Negara Islam Indonesia. Gerakannya di namakan Darul Islam (DI)
sedang tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia ( TII ). Gerakan ini
dibentuk pada saat Jawa Barat di tinggal oleh Pasukan Siliwangi yang berhijrah
ke Yogyakarta dan Jawa Tengah dalam Rangka melaksanakan ketentuan dalam
Perundingan Renville. Ketika pasukan Siliwangi berhijrah, gerombolan DI/TII ini
dapat leluasa melakukan gerakannya dengan membakar Rumah – Rumah Rakyat,
Membongkar Rel Kereta Api, menyiksa dan merampok harta benda penduduk. Akan
tetapi setelah pasukan Siliwangi mengadakan Long March kembali ke Jawa Barat,
gerombolan DI/TII ini harus berhadapan dengan pasukan Siliwangi.Usaha Untuk
menumpas pemberontakan DI/TII ini memerlukan waktu yang lama disebabkan oleh
beberapa faktor, yakni :
Medannya berupa daerah pegunungan – pegunungan sehingga sangat mendukung pasukan
DI/TII untuk bergerilya,
Pasukan Kartosuwirjo dapat bergerak dengan leluasa di
Kalangan Rakyat,
Pasukan DI/TII mendapat bantuan dari beberapa orang Belanda, antara lain
pemilik – pemilik perkebunan dan para pendukung negara Pasundan, Suasana
Politik yang tidak stabil dan sikap beberapa kalangan partai politik telah
mempersulit usaha – usaha pemulihan keamanan. Selanjutnya dalam menghadapi aksi
DI/TII pemerintah mengerahkan pasukan TNI untuk menumpas gerombolanini. Pada
tahun 1960 pasukan Siliwangi bersama rakyat melakukan operasi “ Pagar Betis “
dan operasi “ Bratayudha “ Pada tanggal 4 Juni 1962 Sekarmadji Maridjan
Kartosuwirjo beserta para pengawalnya dapat ditangkap oleh pasukan Siliwangi
dalam operasi “ Bratayudha “ di Gunung Geber, daerah Majalaya, Jawa Barat.
Kemudian Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo oleh Mahkamah Angkatan Darat dijatuhi
hukuman mati sehingga pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dapa di padamkan.
b. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah.
Gerombolan DI/TII ini tidak hanya di Jawa Barat akan tetapi
di Jawa Tengah juga muncul pemberontakan yang didalangi oleh DI/TII.
Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengha di bawah pimpinan Amir Fatah yang bergerak
di daerah Brebes, Tegal, dan Pekalongan. Dan Moh. Mahfudh Abdul Rachman ( Kiai
Sumolangu ).
Untuk menumpas pemberontakan ini pada bulan Januari 1950 pemerintah melakukan
operasi kilat yang disebut “ Gerakan Banteng Negara “ ( GBN ) di bawah Letnan
Kolonel Sarbini ( Selanjut – nya di ganti Letnan Kolonel M. Bachrun dan
Kemudian oleh Letnan Kolonel A. Yani ). Gerakan operasi ini dengan pasukan “
Banteng Raiders “.
Sementara itu di daerah Kebumen muncul pemberontakan yang merupakan bagian dari
DI/TII ,yakni dilakukan oleh “ Angkatan Umat Islam ( AUI ) “ yang dipimpin oleh
Kyai Moh. Mahudz Abdurachman yang dikenal sebagai “ Romo Pusat “ atau Kyai
Somalangu. Untuk menumpas pemberontakan ini memerlukan waktu kurang lebih Tiga
Bulan.
Pemberontakan DI/TII juga terjadi di daerah Kudus dan Magelang yang dilakukan
oleh Batalyon 426 yang bergabung dengan DI/TII pada bulan Desember 1951. Untuk
menumpas pemberontakan ini Pemerintah melakukan “ Operasi Merdeka Timur “ yang
dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Brigade Pragolo.
Pada awal tahun 1952 kekuatan Batalyon pemberontak tersebut dapat dihancurkan
dan sisa – sisanya melarikan diri ke Jawa Barat.
c. Pemberontokan DI/TII di Aceh.
Gerombolan DI/TII juga melakukan pemberontakan di Aceh yang
dipimpin oleh Teuku Daud Beureuh. Adapun penyebab timbulnya pemberontakan
DI/TII di Aceh adalah kekecewaan Daud Beureuh karena status Aceh pada tahun
1950 diturunkan dari daerah istimewa menjadi kresidenan di bawah Provinsi
Sumatera Utara. Pada tanggal 21 September 1953 Daud Beureuh yang waktu itu
menjabat sebagai Gubernur Militer menyatakan bahwa Aceh merupakan bagian dari
Negara Islam Indonesa di bawah Pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosuwiyo.
Dalam menghadapi pemberontakan DI/TII di Aceh ini semula pemerintah menggunakan
kekuatan senjata. Selanjutnya atas prakarsa Kolonel M. Yasin, Panglima Daerah
Militer 1/Iskandar Muda, Pada tanggal 17 – 21 Desember 1962 diselenggarakan “
Mustawarah Kerukunan Rakyat Aceh “ yang mendapat dukungan tokoh – tokoh
masyarakat Aceh sehingga pemberontakan DI/TII di Aceh dapat dipadamkan.
d. Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan.
Di Sulawesi Selatan juga timbul pemberontakan DI/TII yang
dipimpin oleh Kahar Muzakar. Pada tanggal 30 April 1950 Kahar Muzakar menuntut
kepada pemerintah agar pasukannya yang tergabung dalam Komando Gerilya Sulawesi
Selatan dimasukkan ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat ( APRIS
). Tuntutan ini ditolak karena harus melalui penyaringan. Pemerintah melakukan
pendekatan kepada Kahar Muzakar dengan memberi pangkat Letnan Kolonel. Akan
tetapi pada tanggal 17 Agustus 1951 Kahar Muzakar beserta anak buahnya
melarikan diri ke hutan dan melakukan aksi dengan melakukan teror terhadap
rakyat. Untuk menghadapi pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan ini
pemerintah melakukan Operasi Militer. Baru pada bulan Februari 1965 Kahar
Muzakar berhasil ditangkap dan ditembak mati sehingga pemberontakan DI/TII di
Sulawesi dapat dipadamkan.
e. Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan.
Pada bulan oktober 1950 DI/TII juga melakukan pemberontakan
di Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hajar. Para pemberontak melakukan
pengacauan dengan menyerang pos – pos kesatuan TNI. Dalam menghadapi gerombolan
DI/TII tersebut pemerintah pada mulanya melakukan pendekatan kepada Ibnu Hajar
dengan diberi kesempatan untuk menyerah, dan akan diterima menjadi anggota TNI.
Ibnu Hajar pun menyerah, akan tetapi setelah menyerah melarikan diri dan melakukan
pemberontakan lagi. Selanjutnya pemerintah mengerahkan pasukan TNI sehingga
pada akhir tahun 1959 Ibnu Hajar beserta seluruh anggota gerombolannya pun
tertangkap.
2.
Tokoh Dalam Pemberontakan DI/TII
a. Sekar Marijan Kartosuwiryo (Jawa Barat)
Sekar Marijan Kartosuwiryo mendirikan Darul Islam (DI)
dengan tujuan menentang penjajah Belanda di Indonesia. Akan tetapi, setelah
makin kuat, Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia
(NII) pada tanggal 17 Agustus 1949 dan tentaranya dinamakan Tentara Islam
Indonesia (TII).
Upaya penumpasan dengan operasi militer yang disebut Operasi Bharatayuda.
Dengan taktis Pagar Betis. Pada tanggal 4 juni 1962, Kartosuwiryo berhasil
ditanggap oleh pasukan Siliwangi di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat.
Akhirnya Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati 16 Agustus 1962.
b. Ibnu Hadjar (Kalimantan Selatan)
Ibnu
Hadjar alias Haderi bin Umar alias Angli adalah seorang bekas Letnan Dua TNI
yang kemudian memberontak dan menyatakan gerakannya sebagai bagian DI/TII
Kartosuwiryo. Dengan pasukan yang dinamakannya Kesatuan Rakyat Yang Tertindas,
Ibnu Hadjar menyerang pos-pos kesatuan tentara di Kalimantan Selatan dan
melakukan tindakan-tindakan pengacauan pada bulan Oktober 1950. Untuk menumpas
pemberontakan Ibnu Hajar ini pemerintah menempuh upaya damai melalui berbagai
musyawarah dan operasi militer. Pada saat itu pemerintah Republik Indonesia
masih memberikan kesempatan kepada Ibnu Hadjar untuk menghentikan
petualangannya secara baik-baik, sehingga ia menyerahkan diri dengan kekuatan
pasukan beberapa peleton dan diterima kembali ke dalam Angkatan Perang Republik
Indonesia. Tetapi setelah menerima perlengkapan Ibnu Hadjar melarikan diri lagi
dan melanjutkan pemberontakannya. Pada akhir tahun 1954, Ibnu Hajar membulatkan
tekadnya untuk masuk Negara Islam. Ibnu Hajar diangkat menjadi panglima TII
wilayah Kalimantan. Perbuatan ini dilakukan lebih dari satu kali sehingga
akhirnya Pemerintah memutuskan untuk mengambil tindakan tegas menggempur
gerombolan Ibnu Hadjar. Pada akhir tahun 1959 pasukan gerombolan Ibnu Hadjar
dapat dimusnahkan dan lbnu Hadjar sendiri dapat ditangkap. Gerakan perlawanan
baru berakhir pada bulan Juli 1963. Ibnu Hajar dan anak buahnya menyerahkan
diri secara resmi dan pada bulan Maret 1965 Pengadilan Militer menjatuhkan
hukuman mati kepada Ibnu Hajar.
c. Daud Beureueh (Jawa Tengah)
Teungku Muhammad Daud Beureu'eh (lahir di Beureu'eh,
kabupaten Pidie, Aceh, 17 September 1899 – meninggal di Aceh, 10 Juni 1987 pada
umur 87 tahun) atau yang nama lengkapnya adalah Teungku Muhammad Daud Beureu'eh
adalah mantan Gubernur Aceh, pendiri NII di Aceh dan pejuang kemerdekaan
Indonesia. Ketika PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) didirikan untuk menentang
pendudukan Belanda, Daud Beureu'eh terpilih sebagai ketuanya. Pada masa perang
revolusi, Daud Beureu'eh menjabat sebagai Gubernur Militer Aceh. Sejak 21 September
1953 sampai dengan 9 Mei 1962, ia melakukan pemberontakan kepada pemerintah
dengan mendirikan NII akibat ketidakpuasannya atas pemerintahan Soekarno. Namun
akhirnya ia kembali ke pangkuan Republik Indonesia setelah dibujuk kembali oleh
Mohammad Natsir.
d. Kahar Muzakkar (Sulawesi Selatan)
Abdul Kahar Muzakkar (ada pula yang menuliskannya dengan
nama Abdul Qahhar Mudzakkar; lahir di Lanipa, Kabupaten Luwu, 24 Maret 1921 –
meninggal 3 Februari 1965 pada umur 43 tahun; nama kecilnya Ladomeng) adalah seorang
figur karismatik dan legendaris dari tanah Luwu, yang merupakan pendiri Tentara
Islam Indonesia di Sulawesi. Ia adalah seorang prajurit Tentara Nasional
Indonesia (TNI) yang terakhir berpangkat Letnan Kolonel atau Overste pada masa
itu. Ia tidak menyetujui kebijaksanaan pemerintahan presiden Soekarno pada
masanya, sehingga balik menentang pemerintah pusat dengan mengangkat senjata.
Ia dinyatakan pemerintah pusat sebagai pembangkan dan pemberontak. Pada awal
tahun 1950-an ia memimpin para bekas gerilyawan Sulawesi Selatan dan Sulawesi
Tenggara mendirikan TII (Tentara Islam Indonesia) kemudian bergabung dengan
Darul Islam (DI), hingga di kemudian hari dikenal dengan nama DI/TII di
Sulawesi Selatan dan Tenggara. Pada tanggal 3 Februari 1960, melalui Operasi
Tumpas, ia dinyatakan tertembak mati dalam pertempuran antara pasukan TNI dari
satuan Siliwangi 330 dan anggota pengawal Kahar Muzakkar di Lasolo. Namun tidak
pernah diperlihatkan pusaranya, mengakibatkan para bekas pengikutnya
mempertanyakan kebenaran berita kejadiannya. Menurut kisah, jenazahnya
dikuburkan di Kilometer 1 jalan raya Kendari,sulawesi tengara. Tapi sampai saat
ini banyak yang tidak percaya atas kepergiannya karena belum ada bukti nyata
tentang keberadaannya di sana.
e. Amir Fatah (Jawa Tengah)
Amir Fatah bernama lengkap Amir Fatah Wijaya Kusumah, adalah
salah satu pimpinan Hizbullah Fisabilillah di daerah Besuki, Jawa Timur sebelum
bergolaknya pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah. Ketika Perjanjian Renville
ditanda tangani oleh pihak Belanda dan Indonesia, maka semua kekuatan Republik
diharuskan hijrah ke Jawa Tengah, termasuk kesatuan Hizbullah dan Fisabilillah
yang dipimpinnya. Pada tahun 1950, ia memproklamirkan wilayahnya merupakan
bagian DI/TII Kartosuwiryo. Melalui operasi yang dilakukan oleh TNI untuk
sementara waktu kekuatan mereka melemah tetapi akibat ada pembelot, kekuatan
DI/TII Amir Fatah kembali kuat. Pada akhirnya pasukan Amir Fatah dapat
ditaklukkan di perbatasan Pekalongan - Banyumas .
3. Berlangsungnya Pemberontakan
DI/TII Di Berbagai Wilayah di Indonesia
Saat pasukan Siliwangi tersebut berhijrah, kelompok DI/TII
ini dengan leluasa melakukan gerakannya dengan merusak dan membakar rumah
penduduk, membongkar jalan kereta api, serta menyiksa dan merampas harta benda
yang dimiliki oleh penduduk di daerah tersebut. Namun, setelah pasukan
Siliwangi menjadwalkan untuk kembali ke Jawa Barat, kelompok DI/TII tersebut
harus berhadapan dengan pasukan Siliwangi.
Gerakan NII ini bertujuan untuk menjadikan Republik Indonesia sebagai sebuah
Negara yang menerapkan dasar Agama Islam sebagai dasar Negara. Dalam
proklamasinya tertulis bahwa “Hukum yang berlaku di Negara Islam Indonesia
adalah Hukum Islam” atau lebih jelasnya lagi, di dalam undang-undang tertulis
bahwa “Negara Berdasarkan Islam” dan “Hukum tertinggi adalah Al Qur’an dan
Hadist”. Proklamasi Negara Islam Indonesia (NII) menyatakan dengan tegas bahwa
kewajiban Negara untuk membuat undang-undang berdasarkan syari’at Islam, dan
menolak keras terhadap ideologi selain Al Qur’an dan Hadist, atau yang sering
mereka sebut dengan hukum kafir.
Dalam perkembangannya, Negara Islam Indonesia ini menyebar
sampai ke beberapa wilayah yang berada di Negara Indonesia terutama Jawa Barat,
Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Setelah Sekarmadji
ditangkap oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan dieksekusi pada tahun 1962,
gerakan Darul Islam tersebut menjadi terpecah. Akan tetapi, meskipun dianggap
sebagai gerakan ilegal oleh Negara Indonesia, pemberontakan DI/TII (Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia) ini masih berjalan meskipun dengan secara diam-diam
di Jawa Barat, Indonesia. Pada Tanggal 7
Agustus 1949, di sebuah desa yang terletak di kabupaten Tasikmalaya, Jawa
Barat. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo mengumumkan bahwa Negara Islam
Indonesia telah berdiri di Negara Indonesia, dengan gerakannya yang disebut
dengan DI (Darul Islam) dan para tentaranya diberi julukan dengan sebutan TII
(Tentara Islam Indonesia). Gerakan DI/NII ini dibentuk pada saat provinsi Jawa
Barat ditinggalkan oleh Pasukan Siliwangi yang sedang berhijrah ke Jawa Tengah
dan Yogyakarta dalam rangka melaksanakan perundingan Renville.
a. Pemberontakan
DI/TII di Jawa Barat
Pada tanggal 7 Agustus 1949 Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo secara resmi menyatakan bahwa organisasi Negara Islam Indonesia
(NII) berdiri berlandaskan kanun azasi, dan pada tanggal 25 Januari 1949,
ketika pasukan Siliwangi sedang melaksanakan hijrah dari Jawa Barat ke Jawa
Tengah, saat itulah terjadi kontak senjata yang pertama kali antara pasukan TNI
dengan pasukan DI/TII. Selama peperangan pasukan DI/TII ini di bantu oleh
tentara Belanda sehingga peperangan antara DI/TII dan TNI menjadi sangat
sengit. Hadirnya DI/TII ini mengakibatkan penderitaan penduduk Jawa Barat,
karena penduduk tersebut sering menerima terror dari pasukan DI/TII. Selain
mengancam para warga, para pasukan DI/TII juga merampas harta benda milik warga
untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka
b. Pemberontakan
DI/TII di Jawa Tengah
Selain di Jawa Barat, pasukan DI/TII ini juga muncul di Jawa
Tengah semenjak adanya Majelis Islam yang di pimpin oleh seseorang bernama Amir
Fatah. Amir Fatah adalah seorang komandan Laskar Hizbullah yang berdiri pada
tahun 1946, menggabungkan diri dengan pasukan TNI Battalion 52, dan bertempat
tinggal di Berebes, Tegal. Amir ini mempunyai pengikut yang jumlahnya cukup
banyak, dan cara Amir mendapatkan para pasukan tersebut, yaitu. Dengan cara
menggabungkan para laskar untuk masuk ke dalam anggota TNI. Setelah Amir Fatah
mendapatkan pengikut yang banyak, maka pada tangal 23 Agustus 1949 ia
memproklamasikan bahwa organisasi Darul Islam (DI) berdiri di desa pesangrahan,
Tegal. Dan setelah proklamasi tersebut di laksanakan, Amir Fatah pun menyatakan
bahwa gerakan DI yang di pimpinnya bergabung dengan organisasi DI/TII Jawa
Barat yang di pimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Di Kebumen juga terdapat sebuah organisasi bernama Angkatan
Umat Islam (AUI) yang di dirikan oleh seorang kyai bernama Mohammad Mahfud
Abdurrahman. Organisasi tersebut juga bermaksud untuk membentuk Negara Islam
Indonesia (NII) dan bersekutu dengan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Sebenarnya, gerakan ini sudah di desak oleh pasukan TNI. Akan tetapi, pada
tahun 1952, organisasi ini bangkit kembali dan menjadi lebih kuat setelah
terjadinya pemberontakan Battalion 423 dan 426 di Magelang dan Kudus. Upaya
untuk menumpas pemberontakan tersebut, pemerintah membentuk sebuah pasukan baru
yang di beri nama Banteng Raiders dengan organisasinya yang di sebut Gerakan
Banteng Negara (GBN). Pada tahun 1954 di lakukan sebuah operasi yang di sebut
Operasi Guntur untuk menghancurkan kelompok DI/TII tersebut.
c. Pemberontakan
DI/TII di Kalimantan Selatan
Pada bulan Oktober 1950 terjadi sebuah pemberontakan
Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRyT) yang di pimpin oleh seorang mantan letnan
dua TNI bernama Ibnu Hajar. Dia bersama kelompok KRyT menyatakan bahwa dirinya
adalah bagian dari organisasi DI/TII yang berada di Jawa Barat. Sasaran utama
yang di serang oleh kelompok ini adalah pos-pos TNI yang berada di wilayah
tersebut. Setelah pemerintah memberi kesempatan untuk menghentikan
pemberontakan secara baik-baik, akhirnya seorang mantan letnan Ibnu Hajar
menyerahkan diri. Akan tetapi, penyerahan dirinya tersebut hanyalah sebuah
topeng untuk merampas peralatan TNI, dan setelah peralatan tersebut di rampas
olehnya, maka Ibnu Hajar pun melarikan diri dan kembali bersekutu dengan
kelompok DI/TII. Setelah itu, akhirnya pemerintahan RI mengadakan Gerakan
Operasi Militer (GOM) yang di kirim ke Kalimantan selatan untuk menumpas
pemberontakan yang terjadi di Kalimantan Selatan tersebut, dan pada tahun 1959,
Ibnu Hajar berhasil di ringkus dan di jatuhi hukuman mati pada tanggal 22 Maret
1965.
d. Pemberontakan
DI/TII di Aceh
Sesaat setelah Kemerdekaan Republik Indonesia di
proklamasikan, di Aceh (Serambi Mekah) terjadi sebuah konflik antara kelompok
alim ulama yang tergabung dalam sebuah organisasi bernama PUSA (Persatuan Ulama
Seluruh Aceh) yang di pimpin oleh Tengku Daud Beureuh dengan kepala adat
(Uleebalang). Konflik tersebut mengakibatkan perang saudara antara kedua
kelompok tersebut yang berlangsung sejak Desember 1945 sampai Februari 1946.
Untuk menanggulangi masalah tersebut, pemerintah RI memberikan status Daerah
Istimewa tingkat provinsi kepada Aceh, dan mengangkat Tengku Daud Beureuh
sebagai pemimpin/gubernur.
Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indoneisa
(NKRI) yang terbentuk pada bulan Agustus 1950. Pemerintahan Republik Indonesia
mengadakan sebuah sistem penyederhanaan administrasi pemerintahaan yang
mengakibatkan beberapa daerah di Indonesia mengalami penurunan status. Salah
satu dari semua daerah yang statusnya turun yaitu Aceh, yang tadinya menjabat
sebagai Daerah Istimewa, setelah operasi penyederhanaan tersebut di mulai,
status Aceh pun berubah menjadi daerah keresidenan yang di kuasai oleh provinsi
Sumatera Utara. Kejadiaan ini sangat mengecewakan seorang Daud Beureuh, dan
akhirnya Daud Beureuh membuat sebuah keputusan yang bulat untuk bergabung
dengan organisasi Negara Islam Indonesia (NII) yang di pimpin oleh Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 20 Spetember
1953. Setelah Daud Beureuh bergabung dengan NII, mereka melakukan sebuah
operasi untuk menguasai kota-kota yang berada di Aceh, selain itu mereka juga
melakukan propaganda untuk memperkeruh citra pemerintahan Republik Indonesia.
Pemberontakan yang di lakukan Daud Beureuh bersama angota
NII yang di pimpin oleh Sekarmadji akhirnya di atasi oleh pemerintah dengan
cara menggunakan kekuatan senjata dan operasi militer dari TNI. Setelah
pemerintahan RI melakukan operasi tersebut, maka kelompok DI/TII tersebut mulai
terkikis dari kota-kota yang di tempatinya. Tentara Nasional Indonesia-pun
memberikan pencerahan kepada penduduk setempat untuk menghindari kesalah
pahaman dan mengembalikan kepercayaan kepada pemerintahan Republik Indoneisa.
Tanggal 17 sampai 28 Desember 1962, atas nama Prakasa Panglima Kodami Iskandar
Muda, kolonel M.Jasin mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh, yang
musyawarah tersebut mendapat dukungan dari para tokoh masyarakat Aceh dan
musyawarah yang di lakukan tersebut berhasil memulihkan keamanan di Aceh.
e. Pemberontakan
DI/TII di Sulawesi Selatan
Selain pemberontakan DI/TII di Aceh, Jawa Barat, Jawa
Tengah, dan Kalimantan Selatan. Pemberontakan DI/TII ini juga terjadi di
Sulawesi Selatan yang di pimpin oleh Kahar Muzakar, organisasi yang sudah di
dirikan sejak tahun 1951 tersebut baru bisa di runtuhkan oleh pemerintah pada
Tahun 1965. Untuk menumpas organisasi tersebut di butuhkan banyak biaya,
tenaga, dan waktu karena kondisi medan yang sangat sulit. Meski demikian, para
pemberontak DI/TII sangat menguasai area tersebut. Selain itu, para pemberontak
memanfaatkan rasa kesukuan yang berkembang di kalangan masyarakat untuk melawan
pemerintah dalam menumpas organisasi DI/TII tersebut. Setelah pemerintahan
Republik Indonesia mengadakan operasi penumpasan DI/TII bersama anggota Tentara
Republik Indonesia. Barulah seorang Kahar Muzakar tertangkap dan di tembak oleh
pasukan TNI pada tanggal 3 Februari 1965.
Pada akhirnya TNI mampu menghalau seluruh pemberontakan yang terjadi
pada saat itu. Karena seperti yang kita ketahui Indonesia terbentuk dari
berbagai suku dengan beragam kebudayaannya dan UUD 45 yang melindungi beberapa
kepercayaan sehingga tidak mungkin untuk menjadikan salah satu hukum agama di
jadikan hukum negara.
4. Berakhirnya Pemberontakan DI/TII
Usaha untuk meruntuhkan organisasi DI/TII ini memakan waktu
cukup lama di karenakan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Tempat tinggal pasukan DI/TII ini berada di daerah
pegunungan yang sangat mendukung organisasi DI/TII untuk bergerilya.
2. Pasukan Sekarmadji dapat bergerak dengan leluasa di
lingkungan penduduk.
3. Pasukan DI/TII mendapat bantuan dari orang Belanda yang di antaranya pemilik
perkebunan, dan para pendukung Negara pasundan.
4. Suasana Politik yang tidak konsisten, serta prilaku beberapa golongan partai
politik yang telah mempersulit usaha untuk pemulihan keamanan.
Selanjutnya, untuk menghadapi pasukan DI/TII, pemerintah
mengerahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk meringkus kelompok ini. Pada
tahun 1960 para pasukan Siliwangi bekerjasama dengan rakyat untuk melakukan
operasi “Bratayudha” dan “Pagar Betis” untuk menumpas kelompok DI/TII tersebut.
Pada Tanggal 4 Juni 1962 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan para pengawalnya
di tangkap oleh pasukan Siliwangi dalam operasi Bratayudha yang berlangsung di
Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Setelah Sekarmadji ditangkap oleh pasukan
TNI, Mahkamah Angkatan Darat menyatakan bahwa Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
dijatuhi hukuman mati, dan dan setelah Sekarmadji meninggal, pemberontakan
DI/TII di Jawa Barat dapat dimusnahkan.